Pesta perkawinan telah berlangsung, Dewi
Ruyung Wulan yang sedang bersedih, ia meminta pestanya harus diadakan
pagelaran wayang yang dimeriahkan wayang purwo (wayang kulit) dengan
dalang Ki Soponyono yang sangat terkenal sebagai dalang yang mampu
membawakan beberapa karakter tokoh yang ada dalam cerita Mahabarata dan
Ramayana sehingga banyak penonton yang terbius seolah cerita itu
hidup.
Dalang Sapanyono kebingungan atas
permintaan yang diajukan oleh Dewi Ruyung Wulan, namun Hal ini hanyalah
merupakan taktik dari Dewi untuk mengulur-ulur pernikahan. Dan agar
pernikahan ini dapat diggagalkan sebab sebetulnya ia tidak mencintai R.
Jasari calon suaminnya. Pernikhan yang tidak dilandasi cinta akan
menyakitkan dan dapat melemahkan semangat untuk hidup berumah tangga.
Ia berpesan kepada Dalang Saponyono untuk
mencari cerita pewayangan yang mirip dengan cerita kisah sedihnya.
Biar semua orang tahu rintihan hati Dewi Ruyung Wulan.
Dalang Saponyono menjalankan tugas
sebisanya. Karena merasa tertantang untuk membawakan cerita wayang yang
tidak sewajarnya, sebab lakon wayang yang biasa dibawakan dalam acara
pernikahan adalah wayang yang alur ceritanya berakhir dengan
kebahagiaan, namun kali ini dalang Sapanyono harus membawakan wayang
dengan cerita yang berakhir sedih. Hal ini pasti mendapat protes sama
penonton. Namun Bagaimanapun juga Dalang Soponyono harus memantaskan
sebab Dewi Ruyung Wulan tidak mau duduk di singgasana pengantin kalau
permintaannya tidak dituruti. Akhirnya dalang Soponyono menuruti
permintaan Dewi Ruyung Wulan, Ia ditemani oleh dua orang adiknya yang
cantik-cantik bernama Ambarsari dan Ambarwati yang bertindak sebagai
waranggano Swarawati
R. Jaseri hatinya berbunga-bunga dapat
bersanding dengan Dewi Ruyung Wulan di pelaminan. Air liur R. Jaseri
selalu menentes bila melihat kecantikannya. Tangannya mulai nakal
mencolak-colek pipi Dewi Ruyung Wulan. Sehingga membuatnya tidak
nyaman. Tengah asyik-asyiknya pagelaran berlangsung, terjadilah
keributan yang ditimbulkan Dewi Rayung Wulan. Ia lari dari pelaminan
dan menjatuhkan diri di atas pangkauan Dalang Saponyono, Dewi Ruyung
Wulan telah hanyut dalam cerita Pewayangan, ia terpesonan dan jatuh
cinta kepada dalang Soponyono yang wajahnya lebih tampan dan pandai
memainkan cerita wayang daripada Raden Jaseri yang selalu mengumbar
nafsu birahinya.
“bawa aku lari kakang Soponyono, kalau tidak lebih baik aku mati saja!”
Hal ini tentu saja mengejutkan semua tamu yang hadir terutama orang tua kedua mempelai. Ki Dalang sendiri juga terkejut dan takut, maka Ki Dalang mengeluarkan kesaktiannya, untuk memadamkan semua lampu yang berada di Kadipaten Carangsoko.
Hal ini tentu saja mengejutkan semua tamu yang hadir terutama orang tua kedua mempelai. Ki Dalang sendiri juga terkejut dan takut, maka Ki Dalang mengeluarkan kesaktiannya, untuk memadamkan semua lampu yang berada di Kadipaten Carangsoko.
Keadaan yang gelap gulita itu, membuat
panik yang hadir dalam perjamuan tersebut, kesempatan ini dimanfaatkan
Ki Saponyono melarikan diri diikuti oleh kedua adiknya dan Dewi Ruyung
Wulan.
Sang Adipati Carangsoko Puspo Handung
Joyo sangat marah sekali. Ia memanggil Patihnya Singopadu untuk segera
mengatasi keadaan ini.
“Cepat perintahkan prajurit untuk menyalakan lampunya” para prajurit bergegas menyalakan lampunya.
Setelah lampu menyala, Raden Jaseri bergulung-gulung dilantai karena calon istrinya raib bersama Dalang Soponyono.
Adipati Paranggarudo memerintahkan
patihnya Singopadu untuk segera mepersiapkan prajurit, mengejar Dalang
Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan.
Prajurit menyebar ke seluruh desa,
memasuki rumah-rumah dengan tidak sopan santun dan kasar, Rakyat
Carangsoko menjadi ketakutan, mereka berlari berhamburan menyelamatkan
diri. Prajurit menggeledah semua rumah penduduk barangkali mereka
bersembunyi di dalam rumah penduduk dan barang siapa berani
melindungnya akan dihukum. Hal ini membuat Adipati Puspo Handung Joyo
kurang senang, yang dicari burunan Dalang Soponyono bukan rumah rakyat
yang dirusak. Adipati Paranggarudo tidak mau peduli, yang penting
adalah Soponyono harus ketangkap mati atau hidup. Karena telah menghina
kewibawaan Adipati Paranggarudo.
Ki Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan yang
disertai adik-adiknya berlari terus menuju hutan, mereka berjalan
mengikuti alur sungai. Ki Soponyono juga mengadakan perlawanan kepada
para pengejar walaupun sia-sia, karena tidak seimbang jumlah pengejar
dan yang dikejar. Keluar hutan masuk hutan, Dewi Ruyung Wulan
menanggalkan pakaian kebesaran, kemudian dia menukarkan dengan baju
penduduk setempat, mereka menyamar menjadi penduduk desa, agar tidak
menjadi perhatian penduduk.
Sampailah mereka di Dukuh Bantengan
(Trangkil) wilayah Panewon Majasemi. Panasnya Terik Matahari di siang
hari membuat keempat orang tersebut kehausan. Musim kemarau yang
panjang membuat mata air kering sehingga amat berharganya air. Mereka
terus berjalan untuk mendapatkan seteguk air. Mereka duduk di bawah
pohon besar yang kering, setelah berlari tanpa berhenti merupakan
siksaan terlebih bagi ketiga orang putri terutama dewi Rayungwulan yang
tidak pernah bekerja berat dan berjalan jauh. Rasa haus bagi ketiga
putri tersebut sudah tak terhankan lagi, untuk meneruskan perjalanannya
sudah tidak mungkinkan lagi.
Karena hausnya mereka berlari mengejar
daratan yang penuh dengan sumber air setelah didekati ternyata hanya
sebuah fatamorgana. Mereka berjalan tertatih-tatih, sampailah mereka
disebuah sawah yang sunyi tidak ada sumurnya, dan sungai disekitarnya
sudah kering karena kemarau panjang itu. Melihat hal itu Ki Sapanyono
sangat bingung hatinya karena akan meminta air pada penduduk tidak
berani, takut bertemu pengejarnya. Maka jalan satu-satunya adalah
mencuri semangka atau mentimun yang ada di sawah tersebut.
Mereka tidak menyadari bahwa semua
bergerak-geraknya diawasi dari jauh oleh pemilik sawah yaitu adik dari
Panewu Sukmoyono yang bernama Raden Kembangjoyo. Berdasarkan laporan
penduduk bahwa sawahnya sering dirusak oleh binatang2 seperti kerbau,
kancil. Namun kali ini Kembangjoyo kaget ternyata yang selama ini yang
merusak tanamannya bukan binatang tapi manusia. Kembangjoyo
memerintahkan anak buahnya untuk mengepung sawah tersebut.
“Ternyata selama ini yang merusak
tanaman-tanaman kami adalah kamu! Ya maling! Tangkap” terjadilah perang
antara Ki Soponyono dengan anak buahnya Kembang Joyo, mereka semua
dapat dilumpuhkan oleh Soponyono. Akhirnya Kembang Joyo turun tangan
mereka berdua bertarung ditengah sawah. Dari kejauhan tiga putri itu
bersembunyi menyaksikan pertarungan tersebut, karena dianggap pasukan
Paranggarudo. Namun tanpa daya Ki Sopanyono melawan R. Kembangjoyo,
karena Kembang Joyo lebih sakti dari Ki Soponyono.
Ki Soponyono ditlikung kakinya, kemudian tangannya diikat dengan tali dadung.
“Saya mencuri karena terpaksa Ndoro”
“Yang namanya maling juga terpaksa semua”
Sejurus dengan itu keluarlah Dewi Ruyung Wulan beserta kedua adik Dalang Soponyono.
“lepaskan kakang Soponyono, yang kamu
buru aku kan, aku boleh kamu bawa asalkan Kakang Soponyono dilepaskan
dahulu” Dewi Ruyung Wulan mengira bahwa yang menangkap Dalang Soponyono
adalah Pasukan Paranggarudo. Kembang Joyo menjadi heran ternyata
maling yang ditangkapnya membawa tiga orang gadis yang cantik-cantik.
Namun karena Kembang Joyo hanya ditugaskan untuk menjaga sawah milik
kakaknya, makanya ia tetap merangket keempat orang tersebut.
Mereka berempat menjadi tawanan R.
Kembang Joyo, kemudian mereka dihadapkan kepada Penewu Sukmoyono untuk
diminta penjelasannnya. Ki Soponyono memerkenalkan satu persatu
kawan-kawannya. Selanjutnya ia menceritakan semua kejadian-kejadian
yang telah dialami, mengapa mereka sampai di dikejar-kejar pasukan
Parang Garudo, mereka terpaksa mencuri semangka dan mentimun milik
Raden KembangJoyo, karena kehausan dan lapar. Mendengar penuturan Ki
Soponyono tersebut Penewu Sukmayono merasa kasihan dan tidak sampai
hati untuk menjatuhi hukuman. Penewu Sukmayono bersedia menampung dan
melindungi mereka.
“Tinggal disini semaumu, masalah
Paranggarudo biar kami yang akan menghadapinya.” Sukmoyono
mempersilahkan Dalang Soponyono, dan ketiga putri untuk beristirahat
dahulu.
Sebagai rasa terima kasih yang tak
terhingga atas segala kebaikan Sukmoyono, Ki Saponyono mempersembahkan
kedua adiknya kepada Sang Penewu untuk dijadikan hambanya. Persembahan
tersebut diterima dengan senang hati. Akhirnya Ambarsari diperistri
oleh Penewu sebagai selir, sedangkan Ambarwati diberikan kepada R.
kembang Joyo untuk dijadikan istrinya. Sedangkan Dewi Ruyung Wulan akan
dikembalikan kepada bapaknya Adipati Carang Soko, Puspo Handung Joyo.
Yuyu Rumpung pembesar dari Kemaguhan yang
juga merupakan anak buah Paranggarudo tahu kalau keris Rambut Pinutung
dengan Kuluk Kanigoro adalah pusaka hebat yang dimiliki Sukmoyono.
Yuyu Rumpung memerintahkan anak buahnya. Yang bernama Sondong Majeruk
untuk mengambil kedua pusaka tersebut. Akan tetapi sebelum dapat
diserahkan kepada Yuyu Rumpung sudah dapat diketahu Sondong Makerti
sehingga terjadi pertempuran, Sondong Majeruk kelehan kehabisan tenaga
hingga mau mati, keris Rambut Pinutung yang dibawa Sondong Makerti
berhasil menusuk perut Sondong Majeruk hingga tewas. Selamatlah keris
Rambut Pinutung tidak bisa dibawa oleh Sondong Majeruk. Yuyu Rumpung
murka kemudian memerintahkan segera menyerbu Majasemi bergabung dengan
Pasukan Yudhopati dengan patih Singopati.
Sementera itu para prajurit Parang Garudo
masih saja melakukan pengejaran dan penggeledahan di rumah-rumah
penduduk. Sampailah mereka di Majasemi. Betapa marahnya Adipati
Yudhopati ketika mendapat laporan bahwa buronan Dalang Soponyono, Dewi
Ruyung Wulan bersama kedua adik Soponyono berada Di Majasemi mereka
dilindungi oleh Penewu Sukmayono.
Maka terjadilah pertempuran yang sangat
seru banyak korban yang berjatuhan, juga Ki Penewu Sukmoyono gugur
dalam pertempuran itu. Mendengar Penewu Sukmayono gugur, Raden
Kembangjoyo mengamuk dengan memegang keris Rambut Pinutung dengan kuluk
Kanigoro menghancurkan Pasukan Paranggarudo. Mereka dibantu oleh
pasukan Carangsoko, pertempuran dahsyat antara Patih Singopati dengan
Patih Singopadu, memporsir energi sehingga keduanya gugur di medan
laga. Pertempuran di Majasemi berakhir dengan membawa banyak korban.
Ki Saponyono mengantarkan Dewi Ruyung
Wulan bersama-sama dengan Raden Kembangjoyo. Sebagai ucapan terima
kasih, Dewi Ruyung Wulan diberikan kepada Raden Kembang Joyo untuk
dijadikan istrinya, karena Kembang Joyo berhasil mengalahkan Yudho Pati
adipati Paranggarudo kemudian ia menetap di Carangsoko menggantikan
Puspo Handung Joyo sebagai pemimpin Kadipaten. Ia juga diangkat menjadi
Adipati setelah menggabungkan tiga kadipaten yaitu Paranggarudo,
Carangsoko dan Majasemi menjadi satu kadipaten Pati
Peleburan itu telah menciptakan kerukunan dari tiga kadipaten yang bertikai, untuk lebih memantapkan dalam memimpin kadipaten, ia mengajak Dalang Soponyono untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan mencari lokasi yang baik sebagai pusat pemerintahan, raden Kembangjaya dan Raden Sopanyono menuju hutan Kemiri, dan segeralah hutan tersebut dibabat untuk Kadipaten/pusat pemerintahan.
Peleburan itu telah menciptakan kerukunan dari tiga kadipaten yang bertikai, untuk lebih memantapkan dalam memimpin kadipaten, ia mengajak Dalang Soponyono untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan mencari lokasi yang baik sebagai pusat pemerintahan, raden Kembangjaya dan Raden Sopanyono menuju hutan Kemiri, dan segeralah hutan tersebut dibabat untuk Kadipaten/pusat pemerintahan.
Alas (Hutan) Kemiri dihuni oleh beberapa
binatang Singa, Gajah dan binatang buas lainnya, selain itu juga dihuni
oleh kerajaan siluman, Kembang Joyo dan Dalang Soponyono bahu membahu
melawan kerajaan Siluman tersebut. Akhirnya dengan kesaktian Kembang
Joyo pemimpin Siluman menyerah. Untuk menangkal makhluk-makluk halus
Dalang Sopoyono selamatan dengan memainkan wayang di hutan Kemiri.
Sirnalah pemimpin Siluman beserta anak buahnya lari dari hutan kemiri.
Esok harinya Kembang Joyo dan Dalang
Soponyono beserta parajurit Carangsoko melanjutkan pekerjaannya membuka
Hutan Kemiri menjadi perkampungan, ditengah mereka sedang membuka
hutan datanglah seorang laki-laki memikul gentong yang berisi air.
“Berhenti kisanak!, siapa namamu dan apa yang sedang kau pikul itu?”
“Saya Ki Sagola, yang gentong yang kupikul ini berisi Dawet, aku terbiasa berjualan lewat sini.”
“Dawet itu minuman apa?, coba saya minta dibuatkan, prajurit-prajurit saya ini juga dibuatkan!
“ Kenapa hutan ini kok ditebangi?, kasihan para binatang pada lari ke gunung?”
“Kami sedang membuka hutan ini untuk
perkampungan baru, agar kelak dapat menjadi kota raja yang makmur,
gemah ripah loh jinawi, sebab derah kami dulu sudah tidak memungkinkan
kita tempati akibat perang Saudara”
Raden Kembang Joyo merasa terkesan akan
minuman Dawet yang manis dan segar, maka ia bertanya pada Ki Sagola
tentang minuman yang baru diminumnya. Ki Sagola menceritakan bahwa
minuman ini terbuat dari Pati Aren yang diberi Santan kelapa, gula
aren/kelapa.
Mendengar jawaban itu Raden Kembang Joyo
terispirasi, kelak kalau pembukaan hutan ini selesai akan diberi nama
Kadipaten Pati-Pesantenan. Dalam perkembangannya Kadipaten
Pati-Pesantenan menjadi makmur gemah ripah loh jinawi dibawah
kepemimpinan Kembang Joyo.
Sumber : Sejarah Hari Jadi Kab. Pati, 1994
2 komentar:
mantap gan atas informasinya, lanjutkan!!!
Terimasih atas partisipasinya..
Posting Komentar