Sabtu, 07 April 2012

Tugas Psikolinguistik

Nama : Deny Pranata
NIM : A 310090272
Kelas : 6 D

1. (E..e..e.e) makluk antah berantah dari mana kalian..???
* Fungsi komunikasi : menjelaskan fonem vokal(e)yaitu menyatakan ketidaksukaan terhadap makluk atau lawan bicara pada dialog tersebut atau menyatatakan dengan nada tinggi (marah)
(Ooo...aku juga cinta kamu...!!!
funsi komunikasi : menjelaskan bahwa ia sedang jatuh cinta.
2. Kombinasi vokal konsonan
"wow",doaku terkabul!!! Benar-benar sumur keramat",
Fungsi komunikasi : menjelaskan bahwa "wow" yang berarti terkejut atau sedang merasakan bahagia karena mendapat sesuatu yang tak terduga.
"Jono menjawab" On tidak perlu pak.
"Oh" : sebagai kombinasi vokal konsonan
Funsi komunikasi : Sebagai tanda seseorang mengerti atau paham.
3. (Pasangan fonem vokal)
A : "aaauuu...teriak ia sangat keras.
B : Kau sangat hebat.....
"aaauuu" sebagai pasangan atau gabungan fonem vokal.
Fungsi komunikasi : Sebagai tanda senang atau merasa gembira (bahwa ia berhasil melakukan sesuatu hal).

Kamis, 05 April 2012

Analisis Novel Para Priyayi Dengan Pendekatan Sosiologi Sastra (Karangan:Umar Kayam)


A.    Sinopsis Novel Para Priyayi
Soedarsono anak keluarga buruh tani yang oleh sanak saudaranya diharapkan menjadi "pemula" untuk membangun keluarga priyayi. Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, ia dapat sekolah dan menjadi seorang guru. Disinilah ia mulai menapaki dunia priyayi pangreh praja. Soedarsono memiliki tiga orang anak, Noegroho (Opsir Peta), Hardojo (Guru), dan Soemini (istri Asisten Wedana). karena hidup berkecukupan Soedarsono merasa wajib membantu sanak saudaranya yang tidak mampu, dibawalah tiga keponakannya (Sri, Soedarmin, dan Soenandar) untuk ikut tinggal dan di sekolahkan di Wanagalih. Salah atu keponakannya Soenandar memiliki perangai yang berbneda dari yang lain, jail, nakal, dan selalu gagal dalam belajar.
Suatu ketika Seodarsono yang telah berganti nama menjadi Sastrodarsono, mengutus Soenandar untuk mengurus sekolah yang didirikannya di Wanalawas, diharapkan agar Soenandar lebih mandiri dan dapat bertanggung jawab. tapi Soenandar justru menghamili anak penjual tempe dan kabur. Lahirlah Wage yang kemudian diboyong ke wanagalih, dirawat dan disekolahkan, kemudian diganti namanya menjadi Lantip. Wanagalih adalah sebuah ibukota kabupaten. Kota itu lahir sejak pertengahan abad ke-19. Di kota itu Lantip sering teringat akan Mbah guru Sastrodarsono  yang selalu memberikan nasihat pada seisi rumah setiap kali ia pulang dari pertemuan pagi.
Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage. Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono saat Lantip  tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan Satenan di kota Wanagalih. Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya Desa Wanalawas yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih. Hubungan Embok Lantip dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe. Rupanya tempe buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Buktinya kemudian tempe Embok itu jadi langganan keluarga tersebut.
Lantip selalu ikut membantu menyiapkan dagangan tempe, dan ikut menjajakan nya berjalan di samping atau di belakang Mboknya menyelusuri jalan dan lorong kota. Lantip ingat bahwa dalam perjalan itu sengatan terik matahari Wanagalih. Wanagalih memang terkenal sangat panas dan rasa haus yang benar-benar mengeringkan tengorokan. Sekali waktu Lantip pernah merengek kepada Emboknya untuk dibelikan jajanan. Dengan ketus Emboknya menjawab dengan “Hesy! Ora usah”, dan Lantip pun terdiam. Lantip tahu Emboknya, meskipun murah hati juga sangat hemat dan tegas. Dia akan lebih senang  bila kami melepas haus di sumur pojok alun-alun atau bila beruntung dapat sekedar air teh di rumah langganan Emboknya. Salah satu langganan Emboknya yang murah hati itu adalah keluarga Sastrodarsono. Mereka dipanggil oleh keluarga Sastrodarsono. Mereka menyebutnya dengan “Ndoro Guru” dan “Ndoro Guru Putri”. Waktu mereka melihat Embok datang membawa Lantip, Ndoro Guru menanyakan dengan nada suara sangatlah ulem-nya dan penuh wibawa.
Sejak itu rumah keluarga Sastrodarsono menjadi tempat persinggahan mereka, hubungan mereka dengan keluarga itu menjadi akrab, bahkan lama-lama rumah itu menjadi semacam rumah kedua bagi mereka. Tetapi sangatlah tidak  pantas rumah gebyok itu terlalu besar dan bagus untuk dikatakan rumah kedua mereka bila disejajarkan dengan rumah mereka yang terbuat dari gedek atau anyaman bambu di desa Wanalawas. Juga bila diingat bahwa rumah itu adalah rumah milik seorang priyayi, seorang mantri guru sekolah desa, yang pada zaman itu mempunyai kedudukan cukup tinggi di mata masyarakat seperti Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukan masyarakat dan pemerintah sebagai priyayi, ia punya jabatan dan juga punya gaji.  
          Sastrodarsono, adalah anak tunggal Mas Atmokasan seorang anak petani desa Kedung Simo. Sebelumya ia  hanya bekerja sebagai  guru bantu di Ploso. Dengan janbatan guru bantu itu, berarti Sastrodarsono adalah orang pertama dalam keluarganya yang berhasil menjadi priyayi. Sastrodarsono dijodohkan dengan Ngaisah yang nama aslinya Aisah putri tunggalnya seorang mantri candu di Jogorogo. Dik Ngaisah, begitu ia memanggil istrinya, ia seorang istri yang mumpunyai lengkap akan kecakapan dan keprigelannya bukan hanya pandai mamasak ia juga memimpin para pembantu di dapur, karena memang sejak lahir ia sudah menjadi anak priyayi dibandingkan dengan Sastrodarsono yang baru akan menjadi priyayi.
     Anak-anak mereka lahir dalam jarak dua tahun antara seorang dengan yang lain. Noegroho anak yang paling tua, kemudian menyusul kelahiran adik-adik Noegroho, Hardojo dan Soemini. Anak-anaknya mereka masukan ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak priyayi, kemudian meneruskan pelajaran ke sekolah menengah atas priyayi, seperti MULO, AMS atau sekolah-sekolah guru menengah, seperti Sekolah Normaal, Kweek Sekul dan sebagainya.
Dalam perkembangan pembangunan keluarganya, mereka tidak hanya membatasi mengurus keluarga mereka saja, mereka juga sangat memperhatikan anggota keluarga yang jauh baik dari Sastrodarsono maupun dari keluarga Dik Ngaisah. Ngadiman, anak dari sepupu Sastrodarsono dititipkan pada keluarganya untuk disekolahkan di HIS dan berhasil menjadi priyayi walaupun hanya priyayi rendahan yaitu  bekerja sebagai juru tulis di kabupaten. Begitu juga dengan kemenakan lain seperti Soenandar, Sri dan Darmin, semuanya mereka sekolahkan di HIS.
Soenandar yang jatuh cinta pada Ngadiyem ternyata adalah ayah Lantip, tetapi ia tidak mau mengakui kahamilan Ngadiyem Emboknya Lantip, bahkan ia minggat meninggalkan rumah Sastrodarsono yang akhirnya dapat diketahui dari laporan mantri polisi, Soenandar  bergabung dengan gerombolan perampok yang dipimpin oleh Samin Genjik yang markasnya telah dibakar termasuk Seonandar yang dititipkan keluarganya kepada Sastrodarsono untuk menjadi priyayi juga hangus terbakar.
Semenjak Lantip mengetahui perihal ayahnya, ia merasa kecewa dan malu karena ia hanya  anak jadah dan haram meskipun jelas bapaknya tetapi tidak mau menikah dengan Emboknya. Ternyata bapaknya  adalah gerombolan perampok. Selain itu juga sekarang Lantip mengerti mengapa keluarga Sastrodarsono sangat memperhatikan kehidupannya dan Ngadiyem Emboknya, karena Soenandar, yang  ayahnya Lantip itu, adalah masih tergolong keluarga dari Sastrodarsono
Hardojo anak kedua Sastrodarsono, anak yang paling cerdas dan yang paling banyak disenangi orang. Sekarang seperti adiknya, Soemini, sudah mapan mau membangun rumah tangga di tempatnya ia mengajar di Yogya dengan seorang guru tamatan kweekschool tetapi beragama Katholik. Orang tuanya, orang baik-baik, priyayi, guru di sekolah HIS katolik di Solo. Tetapi keinginan menikah dengan Dik Nunuk yang nama lengkapnya adalah Maria Magdalena Sri Moerniati begitu nama calon istri Nugroho, guru sekolah dasar khusus untuk anak perempuan di kampung Beskalan  ditolak oleh keluarga Sastrodarsono yang keluarganya beragama Islam.
Sesudah Noegroho kembali ke Wanagalih untuk menghibur bapaknya yang merasa sangat terpukul oleh tempelengan tuan Nippon, hal ini dikarena bapaknya dituduh mendirikan sekolah liar, padahal Sastrodarsono mendirikan sekolah hanya untuk menolong orang-orang desa yang tidak bisa membaca dan menulis, “yang disebut sekolah di Wanalas itu usaha kami sekeluarga. Kami pengagum Raden Adjeng Kartini, Ndoro. Kami Cuma meniru beliau, Ndoro.” Begitu ucapan bapaknya masih terngiang di telinga Noegroho saat beralasan pada tuan Nippon.
Seperti biasa Noegroho kembali bekerja di Sekolah Rakyat Sempurna di Jetis sekolah pada jaman Jepang gouverment’s HIS Jetis. Tetapi tanpa di duga Noegroho mendapat panggilan terpilih untuk ikut tentara peta atau Pembela tanah Air, dan segera berangkat ke Bogor untuk menjalani latihan dan saringan yang nantinya dapat ditempatkan di daidan-daidan atau batalyon-batalyon di Jawa.
            Sepeninggalannya Mbah putri kesehatan Eyang kakung semakin memburuk yang aampai akhirnya ia meninggal dunia. Dalam upacara sambutan selamat tinggal untuk Mbah kakung Sastrodarsono semua anggota keluarga Sastrodarsono tidak ada yang berani memberikan pidato kata-kata terakhir, pada akhirnya Lantip yang dijadikan wakil dari keluarga besar Sastrodarsono yang menyampaikan pidato selamat jalan kepada Embah kakung di makam itu.



B.    Analisis Struktur Novel Para Priyayi
1.    Tema
Setiap novel mengandung gagasan pokok atau sering disebut dengan tema. Tema sendiri merupakan gagasan pokok dalam sebuah cerita. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca.
Tema yang diangkat dalam novel Para priyayi mengenai kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada didalamnya. Keluarga ini adalah keluarga Sastrodarsono. Perjuangan hidup untuk membangun satu generasi priayi yang berasal dari seorang petani. Kepriayian Sastrodarsono berusaha diturunkan kepada anak-anaknya. Sastrodarsono dan Ngaisah berhasil mendidik anak-anaknya hingga menjadi priayi-priayi modern yang berhasil. Akan tetapi, anak-anak Sastrodarsono juga tidak luput dari permasalahan-permasalahan dalam keluarga mereka masingmasing. Lantip, anak hasil hubungan di luar nikah antara Ngadiyem dan Soenandar, keponakan Sastrodarsono, tampil sebagai pahlawan. Lantip mampu menyelesaikan permasalahan anak-cucu Sastrodarsono dan menjadi priayi yang sebenarnya.
2.    Alur
Novel ini sendiri terdiri dari beberapa episode, diantaranya yaitu tentang : Wanagalih, Lantip,Sastrodarsono, Lantip, Hardojo, Noegroho, Para Istri, Lantip, Harimurti, dan Lantip. Masing-masing episode ini membentuk alurnya sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara episode yang satu dan yang lain mempunyai hubungan yang erat. Hubungan ini ditandai dengan episode Lantip. Lantip merupakan penghubung antara episode yang satu dan yang lain. Dengan adanya pembagian episode ini, para tokoh diberi kesempatan untuk menuturkan dirinya sendiri bahkan menilai tokoh lain. Berdasarkan urutan waktu, secara umum alur novel Para Priyayi adalah alur campuran, menggunakan alur maju yang dicampur dengan alur mundur. Oleh karena setiap episode membentuk alurnya sendiri-sendiri, tahapan alur tidak dapat digambarkan secara jelas.
Berikut ini adalah tahapan alur novel Para priyayi secara keseluruhan:


a.    Tahap Penyituasian (Situation)
Tahap ini dilukiskan mengenai latar tempat yang menjadi pusat cerita dalam novel ini, yaitu Wanagalih. Tahap penyituasian ini diceritakan oleh tokoh Lantip. Ketika itu, Lantip digambarkan telah menjadi priagung Jakarta. Kemudian, diceritakan keadaan Lantip pada masa kanak-kanak dengan ibunya yang berjualan tempe. Lantip diceritakan belum mengetahui ayah
kandungnya.
Ayah saya... wah, saya tidak pernah mengenalnya. Embok selalu mengatakan ayah saya pergi jauh untuk mencari duit (Para Priyayi, 2001: 10).
Baru setelah ibunya meninggal, Lantip diberi tahu oleh Pak Dukuh Wanalawas mengenai ayah kandungnya. Lantip tahu bahwa ia adalah anak jadah dari Ngadiyem dan Soenandar, yang tidak lain adalah keponakan Sastrodarsono. Mulai saat itu ia tahu bahwa ibunya mengenal keluarga Sastrodarsono bukan suatu kebetulan. Ia pun telah mengerti dan tidak akan sakit hati ketika Sastrodarsono marah, kemudian memaki Lantip dengan sebutan anak gento ataupun anak maling.
b. Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)
Pemunculan konflik ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono mengalami konflik intern tentang penentuan sikap kepriayiaannya. Sastrodarsono mulai menemukan gaya kepriayiannya dan berhadapan dengan model pemikiran priayi lain. Hal ini terjadi ketika Sastrodarsono ditunjuk untuk menggatikan Martoatmodjo sebagai kepala sekolah desa Karangdompol. Dalam benaknya
Pada suatu siang, waktu itu saya baru pulang dari mengatur koordinasi dengan para lurah desa untuk pengaturan makan dan perlengkapan lain bagi pasukan, datang berita itu. Seorang kurir datang dari kota membawa berita itu. Toni meninggal ditembak Belanda waktu sedang mencoba pulang untuk menengok ibu dan adik-adiknya. Masya Allah! Inna lillahi wa inna illaihi rojiun.... Anakku sulung, anakku lanang mati! Dan alangkah mudanya dia! Tanpa bisa saya bendung air mata saya berlelehan (Para Priyayi, 2001:202-203). Dengan kejadian tersebut, membuat Noegroho dan Sus terlalu memanjakan anak mereka yang lain. Mereka berdua takut apabila sesuatu terjadi pada Marie dan Tommi seperti yang dialami Toni. Akan tetapi, sikap mereka yang memanjakan anak mengakibatkan anak-anaknya menjadi salah pergaulan dan menimbulkan banyak permasalahan.

c. Tahap Penanjakan Konflik (Rising Action)
Tahap ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono ditempeleng Tuan Sato. Sastrodarsono dianggap tidak menghormati Jepang karena tidak mau membungkukkan badan menghadap ke utara setiap pagi untuk menyembah dewa. Padahal bukan itu permasalahannya, Sastrodarsono merasa tidak sanggup membungkuk karena usianya yang telah senja. Dengan susah payah dan kaku Ndoro Guru Kakung mencoba membungkukkan badannya. Tuan Sato kelihatan tidak puas dengan bungkuk Ndoro Guru Kakung. Tiba-tiba, dengan secepat kilat, tanpa kita nyana, tangan
Tuan Sato melayang menempeleng kepala Ndoro Kakung. Plak! Plak! Ndoro Kakung geloyoran tubuhnya. Dengan cepat saya tangkap bersama Menir Soetardjo terus kami dudukkan di kursi goyang. ”Darusono, jerek, busuk. Genjimin bogero!” Sehabis mengumpat begitu Tuan Sato pergi dengan diiringi yang lain-lainnya. Sesudah sepi ruang depan itu barulah ketegangan itu terasa
mereda. Tetapi, justru waktu itu saya lihat muka Ndoro Guru Kakung pucat pasi, nglokro, lesu. Air matanya berlelehan keluar. Beliau menangis seperti anak kecil (Para Priyayi, 2001: 129).
Selain itu, penanjakan konflik dapat dilihat ketika diketahui bahwa Marie hamil di luar nikah dengan Maridjan. Kejadian ini sangat mengagetkan kedua orang tuanya dan Sastrodarsono. Terlebih lagi, ternyata Maridjan telah menikah, mempunyai istri dan anak. Kejadian ini semakin membuat seluruh keluarga Noegroho terkejut, terutama Marie yang juga belum mengetahui
permasalahan ini. “Heeh?! Maridjan sudah punya istri dan anak? Asu, bajingan tengik Maridjan!” Bude Sus hampir pingsan mendengar laporan saya. Pakde Noegroho merah padam mukanya. Sedang Marie mukanya jadi pucat pasi, tegang, matanya memandang entah ke mana. Tommi, yang biasa acuh tak acuh, kali itu ikut gelisah tidak menentu (Para Priyayi, 2001: 248).
Konflik semakin meningkat ketika Ngaisah meninggal dunia. Kepergian Ngaisah begitu mendadak bagi Sastrodarsono. Sebelum meninggal, Ngaisah masih sempat menasihati putrinya, Soemini, dalam membina rumah tangga dan menasihati menantunya, Sus, dalam mendidik anak-anaknya. Sebenarnya Ngaisah telah lama mengidap penyakit liver, namun Sastrodarsono tidak mengetahuinya. Kepergian Ngaisah begitu berat dirasakan oleh Sastrodarsono.
d. Tahap Klimaks (Climax)
Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya menjemput Gadis, calon istrinya yang sedang hamil tua, dari penjara. Ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan. Kabar tersebut sangat mengejutkan Hari bagaikan petir di siang bolong. ”Oh, Allah, Lee. Sudah nasibmu, Ngeer. Istrimu, Naak, istrimu sudah tidak ada....”Saya jadi berdiri membatu. Tidak bisa menangis, tidak bisa apa-apa. Saya hanya mendengar cerita ibu dan bapak saya. Gadis melahirkan terlalu cepat sepasang anak kembar laki dan perempuan (Para Priyayi, 2001: 299).

e. Tahap Penyelesaian (Denouement)
Pada tahap penyelesaian terdapat dua bagian, yaitu peleraian (fallingaction) dan penyelesaian (denouement). Tahap peleraian, dapat dilihat ketika Sastrodarsono (Embah Kakung) sakit karena usianya sudah lanjut yakni 83 tahun. Alur ini merupakan penurunan dari keseluruhan cerita karena semua persoalan telah selesai. Sastrodarsono sebagai tokoh utama dalam cerita ini diceritakan hampir menghadap Tuhan karena sakit-sakitan. Sementara itu, tahap penyelesaian, yaitu dengan meninggalnya tokoh Sastrodarsono. Suatu cara mengakhiri cerita yang cukup baik dengan mematikan tokoh utamanya walaupun cerita masih dapat berlanjut dengan diganti tokoh yang lain dan tentunya dengan cerita yang lain. Tiba-tiba kami mendapat surat kilat khusus dari Pakde Ngadiman bahwa Embah Kakung semakin mundur kesehatannya. Juga semakin pikun dan mulai sering menceracau juga. Bapak dan Ibu segera memerintahkan saya dan Gus Hari untuk pergi ke Wanagalih membantu Pakde Ngadiman dan anak-anaknya menjaga dan merawat Embah Kakung (Para Priyayi, 2001:301).
Berdasarkan kepadatan cerita, novel Para Priyayi beralur longgar. Tergolong alur longgar disebabkan peristiwa-peristiwa dalam cerita seolah-olah berdiri sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan terdirinya sepuluh episode dalam cerita ini. Selain itu, hubungan antara tokoh yang satu dan yang lain longgar karena cerita ini memiliki banyak pelaku. Dalam Para Priyayi dikisahkan seorang anak petani desa, Sastrodarsono, yang berjuang untuk meningkatkan golongannya dan berhasil masuk jenjang priayi. Cerita tersebut memiliki kemungkinan terjadi di masyarakat dan masuk akal. Akan tetapi, mungkin hanya orang sedikit yang melakukan usaha seperti Sastrodarsono yang membangun keluarganya dari golongan petani desa menjadi keluarga priayi yang mumpuni. Tegangan (suspense) dalam novel ini terjadi ketika Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya menjemput Gadis dari penjara. Sementara itu, kejutan (surprise) dalam novel ini, yaitu ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan. Kabar tersebut sangat mengejutkan Harimurti dan seluruh keluarganya. Sementara itu, akhir cerita novel Para Priyayi ini dapat dikatakan happy ending. Hal ini disebabkan setiap tokohnya telah mendapatkan kebahagiaan, Marie telah hidup bahagia dengan Maridjan dan Harimurti telah mendapat kebebasannya.
3.    Penokohan
Dalam novel Para Priyayi sendiri memiliki banyak tokoh. Berikut penokohan para tokoh dalam novel ini.

a)    Lantip
Tokoh Lantip digambarkan sebagai tokoh yang rajin, taat, dan ulet. Selain itu, ia juga cekatan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Ketika itu Lantip masih kecil dan baru saja ikut Sastrodarsono, tetapi Lantip sudah dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. “Wah, wong anak desa sekecil kamu, kok ya cepet belajar mengatur rumah priyayi, lho,” kata Lik Paerah (Para Priyayi, 2001: 19). Apalagi apabila dia menyaksikan sendiri akan keprigelan saya
mengerjakan tugas-tugas di rumah Setenan itu. “Wah, sokur to, Le, kamu sudah bisa cak-cek pegang apa-apa,” kata Embok (Para Priyayi, 2001:19). Lantip digambarkan sebagai tokoh yang sabar. Ketika masuk sekolah pertama kali, Lantip diganggu teman-temannya. Teman-temannya
berusaha membuat Lantip marah, tetapi ia selalu ingat pesan emboknya bahwa jangan mudah tersinggung dengan omongan bahkan ejekan teman. Pesan emboknya itu begitu kuat sehingga menjadi rem yang sangat manjur dalam tubuh Lantip. Berapa kali sudah saya kena coba kawan-kawan yang seperti biasanya selalu ingin menjajaki kekuatan anak-anak baru. Tidak pernah saya ladeni. (Para Priyayi, 2001: 22).
Lantip adalah tokoh yang dapat diandalkan oleh seluruh keluarga besar Sastrodarsono dan suka menolong. Sikap Lantip ini digambarkan secara dramatik. Ngaisah memberikan pandangannya mengenai Lantip yang selalu dapat diandalkan keluarganya. Setiap kali saya ingat anak ini tidak habisnya saya mengucap syukur. Gusti Allah Maha Adil. Anak jadah ini tumbuh sebagai anak yang sungguh baik dan amat berbakti kepada semua keluarga kami (Para Priyayi, 2001: 233).
b)    Sastrodarsono
Sastrodarsono digambarkan sebagai tokoh yang patuh atau menurut saran dari orang tua. Sifat ini dapat dilihat ketika ia diberi nama tua. Dalam keluarga Jawa nama dibedakan menjadi dua, yaitu nama ketika masih anak-anak dan nama tua. Sastrodarsono menerima dengan kepatuhan ketika namanya yang Soedarsono diganti menjadi Sastrodarsono. Selain itu, ketika orang tua Sastrodarsono memilihkan jodoh untuknya, ia pun menerimanya dengan kepatuhan. “Karena itu sudah sepantasnya kamu menyandang nama tua, Le. Nama Soedarsono, meskipun bagus, nama anak-anak. Kurang pantas untuk nama tua. Namamu sekarang Sastrodarsono. Itu nama yang kami anggap pantas buat seorang guru karena guru akan banyak menulis di samping mengajar. Sastro rak artinya tulis to, Le?” Saya mengangguk, menerima dan menyetujui, karena pada saat seperti itu hanya itulah yang dapat saya lakukan. “Inggih, Pak.” (Para Priyayi, 2001:35).
c)    Siti Aisah/Dik Ngaisah
Ngaisah adalah istri yang selalu setia kepada suaminya. Ngaisah sering digoda anak dan menantunya tentang kebaktiannya yang dianggap terlalu berlebihan kepada suami. Akan tetapi, ia tidak pernah mengubah sikap terhadap suaminya.
Orang jawa mengatakan istri adalah garwa, sigarane nyawa, yang berarti belahan jiwa. Maka sebagai belahan jiwa bukankah saya mesti tidak boleh berpisah dari belahan yang satu lagi? (Para Priyayi, 2001: 207).
d)    Noegroho
Noegroho juga memiliki sikap pasrah, tabah, dan ikhlas. Sikap ini ditunjukkan ketika anaknya yang pertama meninggal dunia karena tertembak tentara Belanda yang sedang patroli. Selain itu, sikap pasrah Noegroho ditunjukkan ketika ia mengetahui bahwa Lantip diangkat anak
oleh Hardojo.
“Iya, iya, Bu. Sing sabar ya, Bu. Ikhlas, Bu, kita ikhlaskan anak kita pergi ya, Bu. Kalian juga ya, Marie dan Tommi, ikhlaskan kamas-mu pergi” (Para Priyayi, 2001: 204).
… kemudian begitu saja keluar dari mulut saya: Bapak ikhlas, Le (Para Priyayi, 2001: 205).
Tapi, mau bagaimana lagi. Lantip sudah diambil anak oleh Hardojo dan Hardojo sudah minta wanti-wanti kepada kami semua agar Lantip kita perlakukan sama dengan anak-anak kami. Dan juga Bapak dan Ibu sudah ikut merestui juga (Para Priyayi, 2001: 184). Noegroho sangat bertanggung jawab terhadap keluarga besarnya. Sikap ini tampak ketika ia berusaha membebaskan Harimurti dan Gadis dari penjara saat terlibat masalah G 30 S/PKI. Baginya, 
keturunan keluarga besar adalah suatu kewajiban. “Hari, anakku. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi seorang pakde daripada dapat menolong kemenakannya. Ini kewajiban trah, kewajiban keturunan keluarga besar, Le” (Para Priyayi, 2001: 285).
e)    Hardojo
Hardojo adalah orang yang cerdas. Keberhasilannya dalam meniti karier tidak terlepas dari modal kualitas tokoh tersebut. Akan tetapi, ketika ia memilih jodoh membuat seluruh anggota keluarga repot. Hardojo jatuh cinta dengan seorang gadis yang berasal dari Solo bernama Nunuk, gadis itu beragama Katolik. Keduanya saling mencintai, tetapi karena perbedaan keyakinan akhirnya mereka berdua berpisah.
 HARDOJO, anak saya yang kedua, mungkin adalah anak saya yang paling cerdas dan mungkin paling disenangi orang. Soemini sangat sayang kepadanya. Noegroho, yang cenderung paling serius dari semua anak-anak saya, juga sangat dekat dengan adiknya itu, dan kami orangtuanya selalu bisa dibikin menuruti kemauannya. Begitu jatmika, menarik dan micara, tangkas dengan kata-kata anak itu. Tetapi, kenapa justru pada saat dia harus memilih jodoh dia selalu membuat repot seisi rumah (ParaPriyayi, 2001: 93).
f)    Harimurti
Harimurti sangat sayang dengan orang tuanya walaupun kadang berbeda pandangan, ia tetap menghormati orang tuanya. Ia juga memiliki sifat yang jujur dan tulus. Baginya kejujuran dan ketulusan lebih penting daripada gaya penampilan.
Saya diam tidak berusaha meneruskan perdebatan dengan orang tua saya. Jelas kami sudah berbeda pandangan. Dan perbedaan itu memang menandakan perbedaan pandangan antara angkatan yang lain. Bagi mereka mungkin yang terpenting adalah gaya penampilan karena itu dipandang sebagai pancaran jiwa dalam. Bagi saya tidak. Bagi saya kejujuran dan ketulusan lebih penting. Gaya penampilan dapat dikembangkan sambil berjalan (Para Priyayi, 2001: 268).

4.    Latar
latar novel Para Priyayi terdiri dari tiga unsur, tempat, waktu dan social. Hal tersebut akan dijelaskan dibawah ini:
a)    Latar Tempat
Novel ini mempunyai banyak latar tempat, dikarenakan adanya pembagian episode dalam novel ini.
    Wanagalih
Wanagalih merupakan tempat tinggal Sastrodarsono dan Ngaisah. Tempat ini merupakan pusat berkumpulnya seluruh anggota keluarga Sastrodarsono. Hal ini dapat dilihat dari petikan di bawah ini.
“Keputusan kami untuk bertempat tinggal di Wanagalih dan tidak di desa saya bekerja, yaitu di Karangdompol, adalah juga atas nasihat Ndoro eh, Romo Seten Kedungsimo yang didukung oleh mertua saya Romo Mukaram (Para Priyayi, 2001: 47)” dan satu lagi petikan yang ada “Seperti biasa, bila kami semua berkumpul di Wanagalih, kami akan mereguk semua kenikmatan yang ditawarkan oleh rumah induk keluarga kami di Jalan Setenan,(Para Priyayi, 2001: 181)”.
    Wonogiri
Wonogiri sendiri merupakan tempat mengajar Hardojo. Hardojo berada di Wonogiri selama dua tahun. Beliau  juga mendapatkan istri yang berasal dari daerah Wonogiri. Inilah salah satu cuplikannya.
“Saya hanya sempat mengajar di HIS Wonogiri selama dua tahun (Para Priyayi, 2001: 149)”.
    Solo
Solo merupakan tempat bekerja Hardojo setelah mendapat tawaran menjadi abdi dalem Mangkunegaran. Hardojo mengurusi bidang pendidikan orang dewasa dan gerakan pemuda. Oleh karena itu, seluruh daerah yang berada di bawah kerajaan Mangkunegaran ia datangi.
“Begitulah keputusan itu telah saya buat. Saya pindah bekerja ke Mangkunegaran. Saya diberi waktu hingga akhir tahun pelajaran (ParaPriyayi, 2001: 159)”.


    Yogyakarta
Yogyakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho sebelum pindah ke Jakarta. Pada masa penjajahan Belanda, ia bekerja sebagai guru HIS di Jetis Yogyakarta. Selain itu, Hardojo juga tinggal di Yogyakarta setelah ia kecewa dengan sikap Mangkunegaran yang memihak Belanda.
“Kami pun lantas untuk sementara pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus, yang menetap di Yogya sejak pensiunnya di Semarang. Rumah itu tidak berapa besar, di bilangan Jetis, tidak jauh dari bekas sekolah dasar, tempat saya mengajar dulu (Para Priyayi, 2001: 189)”.

    Jakarta
Jakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho. Ketika keluarga Noegroho terkena musibah, Marie hamil di luar nikah, Lantip ditugasi oleh Sastrodarsono dan Ngaisah untuk ikut Sus ke Jakarta dan membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu, keluarga Soemini, anak Sastrodarsono yang ketiga, juga tinggal di Jakarta.

b)    Latar Waktu

Latar waktu novel ini diawali pada masa penjajahan Belanda kemudian pendudukan Jepang, awal Kemerdekaan hingga pemberontakan PKI. Tahun 1910 cerita ini dimulai, Sastrodarsono mulai menapakkan kakinya ke jenjang priayi. Pada masa ini adalah masa penjajahan Belanda. Tiga puluh tahun kemudian adalah masa pendudukan Jepang dan revolusi, tokoh yang muncul dalam cerita ini adalah anak-anak Sastrodarsono. Noegroho menjadi anggota tentara, Hardojo menjadi abdi dalem di Mangkunegaran, dan Soemini menjadi istri asisten wedana. Cita-cita Sastrodarsono untuk membangun keluarga priayi dapat dikatakan berhasil.
Untuk mengupas hal tersebut dapat dilihat petikan yang ada sebagai berikut:
“Waktu itu, sekitar tahun 1910 Masehi, daerah di sekitar desa-desa tersebut boleh dikata masih lebat hutannya (Para Priyayi, 2001: 33)”. Hal ini adalah awal dari cerita dalam novel ini, selanjutnya setelah Jepang kalah perang “Tahu-tahu Jepang kalah perang dan kami, Peta, dibubarkan dan dilucuti senjata kami (Para Priyayi, 2001: 189)”.
“GADIS, mau mentraktir saya malam itu. Hari itu, saya ingat benar, adalah tanggal 8 Mei 1964, hari Pemimpin Besar Revolusi mengumumkan pelarangan Manifes Kebudayaan (Para Priyayi, 2001: 261)”.
c)    Latar Sosial
Latar sosial dalam novel ini adalah gambaran sosial masyarakat Jawa yang mempunyai adat dan kebiasaan yang cukup unik, khususnya daerah Wanagalih (Ngawi) Jawa Timur. Hal ini tidak terlepas dari sosial budaya pengarang yang berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Kebudayaan Jawa yang ditampilkan dalam novel ini begitu halus dan lembut penyampaiannya sehingga tidak semua orang dapat memahaminya. Selain itu, kebudayaan di keraton Mangkunegaran Surakarta pun ikut ditampilkan dalam novel ini. Mangkunegaran merupakan tempat bekerja Hardojo sehingga dalam novel ini juga diceritakan mengenai kebudayaan di Surakarta.
5.    Sudut Pandang
Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang Pertama. Sudut pandang orang pertama ini terlihat pada setiap episode cerita. Pengarang bertindak sebagai orang pertama yang sedang menuturkan pengalamannya. Sudut pandang ini menempatkan pengarang sebagai “saya” atau “aku” dalam cerita. Pada bagian Lantip, pengarang menjadi Lantip, pada bagian Sastrodarsono, pengarang menjadi Sastrodarsono, dan seterusnya. Ini suatu cara bercerita yang menarik karena pengarang menjadi beberapa tokoh sekaligus dalam satu rangkaian cerita.

C.    Analisis Novel Para Priyayi Dengan Pendekatan Sosiologi Sastra.
Sosiologi dalam sastra merupakan gabungan dan sistem pengetahuan yang berbeda. Sosiologi adalah bidang ilmu yang menjadikan masyarakat sebagai objek materi dan kenyataan sosial sebagai objek formal. Dalam perspektif sosiologi, kenyataan sosial dalam suatu komunitas masyarakat dipahami dalam tiga paradigma utama, yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra.
Lewat pendekatan sosiologi sastra, keberadaan pengarang dan karyanya sering tak bisa dilepaskan dari lingkungan dan jamannya. Padahal, ada saja pengarang yang tidak terikat oleh perubahan lingkungan, termasuk momentum penting dalam perubahan politik. Tiap-tiap pilihan tak lain adalah simpul konsep kepengarangan. Seberapa jauh seorang pengarang terikat oleh lingkungan dan jamannya, sebetulnya juga ditentukan antara lain oleh konsep kepengarangannya. Pendekatan sosiologi sastra dapat mengungkapkan latar belakang pengarang, karena dalam kajiannya mempelajari tentang keberadaan manusia (baik dari segi pengarang atau segi hasil karyanya) dalam lingkungan masyarakat.
Dapat dikatakan pula bahwa sastra muncul karena masyarakat menginginkan keterangan kehidupan sosial budayanya. Tepatnya keterangan keberadaan kehidupannya. Sehingga munculah pesan-pesan dalam karya sastra, sebagai bentuk nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang. Nilai-nilai yang ada berhubungan dengan nilai-nilai yang terdapat pada latar belakang sosial budaya masyarakat ketika pengarang hidup dan menjadi salah seorang anggotanya.  Di sisi lain faktor subjektivitas pengarangnya akan menentukan bentuk karya sastra yang akan dihasilkan. Contoh dalam lingkup masyarakat Jawa, seni budaya pewayangan merupakan salah satu fakta sosial budaya yang sudah memasyarakat, sehingga kehadirannya dapat dirasakan siapa pun dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Gaya penulisannya juga sederhana, bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna, dengan kritik-kritik yang segera mengajak pembaca membuat perenungan, yang sebenarnya memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan.  Selain budaya pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam juga menghadirkan para tokoh yang sangat mencerminkan orang-orang Jawa pada umumnya.
Para tokoh dalam novel ini dilahirkan dari latar tempat, social dan waktu yang memang benar-benar menggambarkan kebudayaan Jawa pada saat itu. Bahkan Umar Kayam mewarnai novelnya dengan beberapa penggal tembang kinanti yang merupakan perwujudan kesenian jawa di bagian tengah dan akhir novel. Tokoh dalam novel yang terlahir dari latar budaya Jawa terlihat sangat kental terutama dalam dialognya. Uamar Kayam banyak menggunakan dialog dengan berbahasa Jawa.  Bahasa Jawa yang disajikan Umar Kayam dalam novelya ada tiga bahasa Kromo Inggil (sangat halus) ,Kromo (halus) , dan Ngoko (kasar). Misalnya pada saat Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip menggunakan bahasa yang terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip berbicara dengan orang yang statusnya sama atau sebaya dengan lantip. Contoh kutipannya” wah, Ndoro. Nuwun sewu, mohon maaf.” dan biasanya bahasa seperti kromo inggil tersebut dipakai oleh yang muda ke yang tua apapun strata sosialnya , sedang kalau yang muda ngomong ke yang muda lagi atau yang setara umurnya, biasanya pakai ngoko. Tiga puluh satu tokoh ditampilkan oleh Umar Kayam dalam meramaikan novelnya (Para Priyayi). Misalnya tokoh Sastrodarsono yang diceritakan sebagai anak tunggal Mas Atmokasan, seorang pertani desa Kedungsiwo. Sastrodarsono barasal dari keluarga Islam, dan dia juga beragama Islam. Setelah menjadi guru Sastrodarsono dijodohkan dengan Siti Aisyah atau Dik Ngaisah. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu Noegroho, Hardojo, dan Soemini. Sastrodarsono dan Dik Ngaisah bertekad membangun keluarga Sastrodarsono sebagai keluarga besar priyayi.
Status priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam suasana kehidupan orang-orang Jawa. Bahkan orang-orang Jawa pada jaman dahulu di saat memilih menantu mereka lebih memberatkan    pada calon menantu    yang memiliki  status     priyayi. Bagi orang-orang Jawa status memanglahlah sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi Umar Kayam menyajikan pemahaman tentang priyayi yang sebenarnya dalam novel, bahwa priyayi itu bukan dari darah birunya, bukan dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap kesungguhannya untuk melayani dan mengayomi rakyat banyak. Hal ini disampaikan pada bagian terakhir saat tokoh Lantip berpidato pada pemakaman eyangnya. Lantip dalam pidatonya memaparkan dengan jelas tentang keberadaan Eyangnya selama masih hidup dalam mengayomi rakyat banyak terutama di bidang pendidikan.
Melalui novel Para Priyayi , pembaca Indonesia yang berlatar belakang bukan Jawa akan dapat mengenal dan memahami sebagian kehidupan sosial budaya Jawa. Tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel tersebut tampak sangat terikat dan sekaligus mengikatkan diri dengan penuh kesadaran terhadap aturan kelembagaan masyarakat Jawa.

Rabu, 04 April 2012

Lucunya Sepak Bola Indonesia

Suporter Indonesia

Diera industri saat ini, sepakbola menjadi trend sendiri dimasyarakat. Lihat saja liga yang ada di Eropa, sepakbolanya menjadi industri bisnis yang menggiurkan, mulai dari penjualan jersey, marchendais dan lain-lain. Begitu luar biasanya industri sepakbola eropa hingga memikat para penonton di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Tak khayal setiap akhir pekan kita selalu disuguhi tontonan yang menjadi trend dunia tersebut.

Nah, saya tidak akan berpanjang lebar membahas sepakbola Eropa yang sudah banyak diketahui khalayak umum bahwa eropa merupakan sentra sepakbola profesional. Kali ini kita bahas menegenai sepakbola dalam negeri sendiri. Tiga bulan yang lalu Prof. Djohar Aripin Husein terpilih sebagai ketua PSSI baru menggantikan rezim Nurdin Halid. Pak Djohar membuat gebrakan dengan menggabungkan ISL dan LPI, bukan semata-mata menggabungkan tapi sesuai dengan aturan FIFA/AFC. Tak lama kemudian lahirlah liga baru yaitu Indonesia Primer League (IPL) yang mempunyai konsep profesionalisme. Sayangnya, ada pihak-pihak yang mencoba merong-rong kepengurusan Djohar dari segala arah, bahkan merayu club-club PSSI untuk mengikuti liga antah barantah. Entah siapa dalang dibalik ini semua, tak lama kemudaian muncullah sosok yang mengatasnamankan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI). Mungkin ini awal terungkapnya siapa dalang dibalik rusuhnya sepakbola kita. PSSI cepat tanggap dengan mengajak club-club pembangkang yang ikut liga antah barantah, lagi-lagi para KPSI mencoba menghalangi langkah yang dilakukan Djohar dkk untuk rekonsulisasi. Lucunya negeriku ini memang bukan hal tabu saat ini, para KPSI mengadakan KLB dan memilih La Nyalla sebagai ketua umum PSSI versi KPSI, tak tanggung-tanggung dia juga akan membuat Timnas. Dua federasi dua Timnas, emang lucu sekali La Nyalla ini tidak diakui FIFA masih saja ngeyel menjadi pembang dan perusak sepakbola nasional. 

Semoga saja sepakbola Indonesia menjadi yang terbaik seperti bangsa Eropa yang memiliki sepakbola yang begitu profesional dan enak ditonton.